|
Sumber Gambar: Google |
Perkenalkan namanya Darmo, orang terkaya di kota sekaligus di negeri ini. Ia seorang pria muda pencipta alat-alat canggih. Bisa dibilang kami cukup akrab. Bukan karena kami satu sekolah dulu dari SD-SMA. Bukan juga karena kami dulu satu PTN sekaligus Fakultas yang sama. Bukan pula karena kemarin lusa sampai sekarang kami satu gedung kantor. Bukan juga pula karena kami tetanggaan, bahkan rumahnya di samping kiri rumahku. Entah, semua itu terjadi begitu saja.
Di negara yang memang sudah maju banget ini, kata praktis terlampau berhambur dimana-mana. Berseliweran kanan dan kiri mencari pelanggan, atau bisa juga di bilang korban ke-praktisan. Yah memang, praktis itu bisa bikin hidup lebih efisien waktu. Tidak butuh waktu lama, jadi bisa melakukan hal poli dengan cepat pula. Sesuatu itulah yang dapat ku simpulkan, merupakan bahan pupuk dari tanaman kesuksesan Darmo. Sahabat masa kecilku.
Orangnya ramah. Amanah. Perhatian. Suka berbagi. Murah senyum. Adil. Tidak pandang bulu. Tidak sombong dan pastinya suka menabung. Ah, pokoknya baik. Namun satu kata itulah yang benar-benar menjangkiti orang super-duper baik itu. Praktis. Hidupnya serba praktis. Mau ini-itu, pilihnya praktis. Beli ini-itu, tak perlu lihat barang, yang penting praktis. Jalan sini-jalan situ, maunya kendaraan praktis. Baju kaos-baju kemeja, pilihannya praktis;kaos berkerah. Tetapi sahabat praktisku ini memberikan pelajaran yang sangat berharga. Meski dia yang ku jadikan materi pelajaran itu.
Tampaknya seru bila kuceritakan tabiat harian kolega praktisku itu.
Subuh hari.
Darmo orangnya suka beribadah. Ia bangun tepat jam 04.55. Bangun sendiri. Belum beristri. Katanya kalau sudah punya istri bikin repot, banyak waktu yang terbuang cuma untuk dengar celoteh ringan wanita. Kalian tahu kan wanita? Memang demikian tabiatnya. Lantas mengapa? Hal itulah yang membuat seorang perempuan bertambah anggun. Apalagi kalau tujuannya untuk menghibur suami. Ah, jadi ingat dengan istriku di surga sana. Aduh kenapa malah menjalar ceritanya. Oke-oke.
Setelah bangun, ia bergegas berjalan dua langkah menuju toilet, berwudhu. Dua langkah? Yah. Ia sengaja menempatkan ranjang persis dua langkah dari WC. Katanya praktis, biar tidak buang tenaga dan waktu. Persis tiga menit ia selesai berwudhu. Kok cepat banget? Sesudah itu ia memasang sarung. Bukan sarung sebenarnya, tapi celana sarung. Bentuknya seperti sarung, namun pakainya seperti pakai celana. Praktis banget kan? Ia sholat di rumah, tidak ke masjid. Padahal masjid komplek kami berada betul satu rumah dari rumahnya, samping kanan rumahku. Yah, sekali lagi biar praktis.
Pagi hari.
Selesai sholat. Ia segera mandi dalan kurun waktu lima menit. Hanya beda dua menit ketika berwudhu. Hah? Beneran mandi itu? Bahkan sampai di kantor, sabun muka masih melekat tebal di dagu atau pelipisnya. Aku menegurnya berkali-kali, ia hanya nyengir, lantas mengambil tisu mengelapnya.
Di mejanya sudah tersedia makanan cepat saji, entah itu gorengan, ayam KFC, PizzaHut, McDonald dan lain sebagainya. Ia memesannya tadi dalam perjalanan. Nah di perjalanan itulah tingkahnya sangat ekstrim. Di negara yang terpatri dalam peringkat ke-empat se-dunia sebagai negara terpadat, merupakan hal biasa bila jalanan macet berlebih. Sebagai orang terkaya, mengalahkan presiden serta pejabat-pejabat lain. Mudah bagi dia membeli helikopter beserta membangun tapak tilasnya. Tepat di atas rumahnya yang sengaja dibuat datar, terdapat helikopter biru bergaris merah (ia menyuruh orang untuk mengecatnya). Juga di atas kantor terdapat landasan darat itu. Butuh biaya berapa itu? Darmo tak peduli, yang penting praktiskan? Ah! Praktisnya, ia lebih suka praktis daripada uang.
Terus siapa yang mengemudi heli itu? Mana mungkin dia. Tentu ia mempunyai sopir pribadi. Seorang mantan prajurit perang Amerika. Ia rela pensiun demi menjadi pengendara pribadi untuk bosnya Darmo dengan gaji yang amat menjulang. Nah, saat perjalanan di situlah Darmo mulai melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Sebagai professor muda yang berbakat, ia punya koneksi langsung dengan komputer kerjanya melalui iPhone. Bukan masalah yang rumit.
Sesampainya di tempat landasan, ia segera trun. Sepatu kantor tiba-tiba saja berubah jadi sepatu roda. Dilengkapi dengan remote control. Ia cukup mengkombinasikan pencetan tombol agar sepatu berjalan gesit. Sesampai di ujung tangga, gesit pula roda sepatu itu berganti pegas elastis. Satu lompatan sudah cukup untuk sampai di ujung tangga. Di ujung tangga dengan perintah remote tadi, seketika sepatu roda itu menjelma sepatu kantor kembali. Sungguh alat yang canggih. Dan satu hal, ia tidak pernah mau mempublikasikan alat super-duper canggih itu. Privasi unggulnya, hanya ia yang boleh jadi manusia praktis.
Di kantor sampai malam.
Ia mulai bekerja pagi hari dengan mulut mencomot makanan praktis itu. Jarinya mulai mengetik sesuatu di laptop canggihnya. Di situlah ia mulai benar-benar sibuk. Matanya tak pernah berkhianat, fokus terus. Bahkan telinganya sengaja di berikan penutup telinga anti suara. Gelombang suara gempa bumi pun tak dapat terdengar. Banyak sekali yang harus ia urus melalui layar datar itu. Banyak sekali hubungan-hubungan kerjanya. Seluruh kota besar di Indonesia tampaknya tak boleh lepas dari orang bertubuh pendek itu. Bisa runtuh segala perekonomian kota-kota itu. Ia selesai bekerja tepat jam delapan malam.
Saat pulang.
Saat pulang inilah ia berani mengorbankan waktunya sepersekian seperempat setengah jam. Ia senang aku ajak bicara sambil berjalan naik menuju tapak tilas helikopter. Setiap pulang kerja aku selalu nebeng heli-nya. Dia yang memaksaku. Yah aku menurut saja. Di heli itu aku merasakan sebagian kecil dari kehidupan praktisnya. Tapi aku tak doyan. Lebih baik hidup sederhana seperti manusia pada umumnya.
Pada waktu ajaib itulah aku selalu menasehatinya tentang kehidupan praktisnya.
“Ah Bung. Sepertinya tidak baik kalau kau hidup dalam gelimang praktis terus. Cobalah untuk hidup seperti saudara-saudaramu yang lain. Atau minimal sepertiku.” Tegurku suatu saat dalam suara masih kecil. Ia tak bergeming. Suaraku sepadan dengan deru baling-baling helikopter. Aku mengulanginya lagi, lebih keras, dan lebih keras lagi melebihi cepatnya gelombang transversal baling heli itu. Ia mendengar, lantas menangguk tersenyum siput.
“Tak apa kawan. Aku ingat betul pesan ayahku dulu. Kalau ingin sukses, yah tidak boleh lambat-lambat. Lagi pula aku senang dengan hidupku ini. Buat apa coba meninggalkan hidup yang sudah disenangi?” ia berkata pasti. Merasa sangat bangga dengan hidupnya. Sekali lagi aku memakluminya.
Tiba di landasan atap rumah, aku bergegas turun. Tidak mengajaknya mengobrol kecil sekadar pamit. Aku tahu ia sudah tertidur pulas di sampingku. Ia sudah memberi pesan pada Smith (nama pengendara heli itu) untuk memencet tombol merah pada kursi duduk Darmo. Kursi itu juga ciptaannya. Setelah dipencet, kursi itu bakal bekerja seperti robot. Membawa tubuh Darmo yang sudah pulas ke ranjangnya, entah bagaimana caranya. Untuk kesekian kalinya, ia seorang pencipta alat canggih untuk pribadi.
Begitulah hidupnya berulang-terus menerus. Tak ada bersantai, tak ada main bola, tak ada bercengkrama tak berguna, tak ada kesempatan mencari pendamping. Lah bagaimana bisa menikah? Entah. Kadang aku berfikir begitu bosannya hidup seperti dia. Ah, tampaknya aku dan kalian harus bersyukur dengan hidup yang sederhana. Tergantung dari kalian membuat hidup sederhana itu menyenangkan.
***
Kesimpulan mencengangkan; ternyata praktis dapat pula mem-praktiskan hidup seseorang. Cepat tepat mengirim undangan pada malaikat maut.
Selama seminggu ia sakit berat. Ototnya lemah, tak pernah digunakan untuk olahraga. Usus dan lambungnya menghitam ulah makanan cepat saji. Bahkan lambungnya robek. Makanan yang masuk keluar begitu saja melalui robekan itu, menghantam organ-organ dalam yang lain. Mengerikan. Terjadi pembengkakan pada telinga bagian dalam, terkontaminasi oleh earphone anti suara itu. Wajahnya bengkak-bengkak, bekas garukan karena gatal akibat sabun muka yang saban hari menempel tebal. Membuat kulitnya iritasi. Bagitu menyedihkan melihatnya sewaktu menjenguk.
“Adhim.... aku baru tahu sekarang” Darmo terbatuk, amat pedih terdengar, “kamu benar Dhim, kamu benar, amat benar” ia menangis sedan, menyesal atas segala perangainya selama ini.
“Sudahlah Mo, sudah terlanjur. Lebih baik kamu banyak berdoa untuk kesembuhanmu. Kan rencananya kamu ingin melamar Sarah” aku berkata menyemangati, menepuk pelan bahunya, berharap ia dapat tegar. Sarah adalah wanita yang ingin dia lamar, tak sengaja mereka bertemu via e-mail. Melihat foto online Sarah, Darmo jadi terpikat. Ia berusaha menjadi pria yang tidak praktis lagi. Tapi sudah terlambat. Badannya keburu memburuk, di remukkan belenggu-belenggu ke-praktisan. Menyedihkan.
“Itulah masalahnya kawan, sangat susah untuk memperoleh kata sembuh untukku. Kamu sudah lihatkan hasil pengamatan kesehatanku? Hampir semua organ dalamku rusak. Bisa dibilang persen untukku hidup hanya 20%” ia mengeluh dalam, membuat lubang menganga lebar yang siap menerima dan mengubur harapan-harapan akan Sarah. Mataku ikut berkaca.
“Jangan begitu, kamu tidak boleh ngomong seperti itu” mataku semakin panas. Kaca di mataku mulai ingin meleleh.
“Dhim, aku minta tolong” ia terdiam, menelan ludah yang amat pahit, “Kamu orang yang baik, maka itulah aku mohon, hok-hok!” ia batuk kembali.
“Apa Mo?” kaca itu mulai meleleh, meluruhkan bening-bening air mata.
“Nasihatkan kepada seluruh orang kamu sayangi untuk tidak sepertiku, dan....” ia berhenti, “dan... dan kalau kamu bisa” ia terdiam lagi, “kalau kamu bisa.... nikahi Sarah” Darmo melanjutkan, menyematkan tanda tanya besar dalam hatiku.