Kamis, 14 April 2016

Langit dan Laut

Sumber foto: http://kokoroku.com/wp-content/uploads/2015/04/kiryu.jpg

Mobilku melaju sudah meninggalkan rumah mewah dan saudaraku yang masih tegak berdiri dengan wajah bersimbah air mata. Tangannya masih mengepal. Ia menatapku setengah marah setengah kecewa. Aku tak peduli, dia yang bodoh. Buat apa kemewahan kalau tidak dinikmati? Lebih baik menikmati segala usaha kita sendiri, tanpa bantuan dari-, ah! Jengkel aku mengingat orang tuaku.
Diperjalanan aku berbincang mesra dengan Pramita. Dia sangat pandai membuatku damai dari permasalah keluargaku yang cukup rumit, ah bukan. Bukan masalah keluarga, lebih tepatnya masalah persaudaraan. Samad sangat protectif padaku.
Beberapa menit di perjalanan, ada sekumpulan motor dan penunggangya yang menghalangi di depan. Aku terperangah, mau apa geng motor itu? Aku menatap Pramita di sampingku, barangkali ia ketakutan. Tapi, lihatlah! dia tersenyum sinis, lantas menatapku tajam, ia tiba-tiba menjadi bukan seperti Pramita yang ku kenal. Ia membuka pintu mobil. Aku melarangnya, siapa tahu ia diapakan oleh bajingan di depan. Ia tidak peduli.
Aku benar-benar heran. Tak ada satu orang pun dari pria berotot itu yang mengenduskan napas seram padanya, atau minimal memunculkan wajah bengis. Mereka malah tersenyum pada Pramita lantas memanggilnya bos lalu tertawa bahak bersama.
Ya ampun. Saudaraku benar tentang teman wanitaku ini. Percuma aku menyesal, pria-pria berotot itu sudah mengangkat semua senjatanya, beranjak berjalan menuju mobilku. Pikiranku menyisakan satu pilihan, kabur. Tapi bagaimana bisa? Ah, kalau mereka ingin membunuhku, mengapa tak ku bunuh juga mereka semua? Aku menancap gas, siap melaju kencang menabrak mereka semua.
Braak!!!
Tertabrak beberapa anggota geng motor itu bersama motornya. Cukup susah menembus motor-motor gede itu, beruntung mobil yang kumiliki adalah kelas atas. Hantam habis saja apa yang ada di depan. Mereka mulai mengejar di belakang. Aku benar-benar kualat pada Ayah, Ibu dan saudaraku. Tak ragu lagi aku mengucap hal yang lebih spepsifik dari orang tua, Ayah-Ibu. Aku benar-benar bingung. Mungkin ini adalah ujung hidupku. Dan aku harap mereka ada di depanku, agar aku dapat meminta maaf.
Tepat saat kebingungan dan kekhawatiran mulai merasukiku. Terdengar suara tembakan, aku terka itu dari mereka. Tapi bukan, malah mereka yang terjatuh bersimbah darah. Aku semakin takut, namun tetap ku laju mobil canggihku. Perlahan mobilku semakin menjauh, dan aku mulai tak mendengarkan deru suara motor. Aku menengok kaca spion, ternyata benar, tak ada lagi yang membuntutiku. Aku mulai bernapas lega, namun seseorang tiba-tiba berbicara di  belakangku, sambil meletakkan pistol di leherku.
“Kau tak melihatku masuk yah saudara Bahrain Ardan?” ia berbisik di telingaku, menyeramkan sekali.
“Apa maumu bajingan?! Katakan dan lepaskan aku! Akan kuberikan semua hartaku jika kau mau” aku mulai menawarkan. Tapi aku tak yakin, raut dari wajahnya yang ku lihat dari cermin depan mobil tak menggambarkan hal yang seperti itu.
“Aku tak butuh uangmu. Aku hanya butuh mayatmu. Maukah kau menjadi mayat untukku?” ia mulai mengancam, semakin sadis terdengar. Detik yang sangat mengerikan, ia mulai menarik pedal pistolnya. Kosong. Beruntung pelurunya habis. Segera ku hentikan mobilku, memutar lengannya yang sedari tadi merangkul leherku, lantas keluar berlari menuju hutan yang cukup lebat. Tentu ia mengejarku, entah mengapa ia sangat berhasrat untuk membunuhku.
Dorr!!!
Ia menembak setelah mengisi peluru. Dia terburu-buru mendesingkan peluru, sangat takut aku berhasil kabur dari maut yang sudah ia rencanakan. Beruntung hanya lenganku yang terkena, setidaknya aku masih bisa berlari menjauh.
Aku mencapai pusat hutan pada dini hari yang sangat dingin. Lenganku masih sakit,teramat sakit. Namun sedikit terobati oleh dingin yang menusuk. Segera ku robek lengan bajuku lalu mengikat luka itu agar aku tak kehabisan darah. Aku sangat lelah, hingga tak sadar aku menjatuhkan diriku di bawah pohon besar. Siluet Ayah-Ibu entah mengapa tiba-tiba saja melesat di pelupuk mataku. Kemudian berlanjut dengan wajah saudaraku malam tadi, wajah yang sangat marah dan kecewa. Maafkan aku saudara. Aku terisak, benar-benar merasa bersalah. Gelap, tidur.
***
Lengan kananku terasa sakit, seperti dijerat oleh sesuatu. Lebih lagi lengan kiriku yang sudah tertanam peluru timah. Perutku juga, seperti ditekan dan ditarik ke belakang. Aku terbangun. Dan begitu kagetnya, tubuhku sudah terikat di pohon.
“Hahahaha, kau sudah bangun bocah ingusan” pria yang menyodongkan pistol tadi malam tertawa renyah. Aku menggeliat, ingin melepaskan diri.
“Hei! Rupanya kau sudah tak sabar menjemput kematian?”
“Sebenarnya kamu siapa? Dan apa maumu?” aku benar-benar bingung.
“Mau tau namaku? Tak penting. Yang terpenting sekarang adalah nikmati detik-detik terakhirmu. Karena setelah bir ini habis, maka maut akan segera menjemputmu. Hahaha!” ia kembali tertawa, kemudian meneguk kembali minuman khamr itu.
“Lantas apa alasanmu ingin membunuhku?”
“Ini sebenarnya dendam masa lalu anak tampan. Ini adalah dendam kesumat dari kakek kepada keluarga kalian. Aku dan Pramita hanya akan dapat mewarisi harta keluarga kami bila kami telah membalas dendam kakek kepada keturunan keluarga Ardan. Orang tua kalian sudah mati, dan itu tugas orang tua kami. Dan sekarang mereka mewariskan tugas membunuh kalian kepada kami” ia menjelaskan dengan penuh amarah. Kesalahan apa yang orang tuaku lakukan sehingga sampai melahirkan dendam sekronis itu? Dan bagaimana dengan saudaraku?
Hah? Tiba-tiba saja saudaraku berjalan dari belakang orang seram itu.
PAKKK!!!
Sepotong kayu tepat mengenai pundak orang asing itu. Tumbang sudah. Samad segera berlari ke arahku, aku dapat merasakan rasa takut kehilangan keluarga satu-satunya pada dia. Ia segera melepas ikatan yang sangat keras mengikat.
“Kau tak apa-apa Bahrain?” ia segera menghambur memelukku. Pundakku terasa hangat dijatuhi tetes air mata. Mataku juga mulai memanas, merasakan sedih yang sama, ketakutan kehilangan keluarga lagi.
“Ayo-ayo. Kita segera pergi” ia menatapku sangat takzim, aku membalas menatap matanya yang sangat persis denganku. Ia lantas berdiri menarik tanganku, membantuku untuk berdiri dan berjalan. Nahas, sebelum aku berdiri, ia sudah jatuh duluan. Tepat di belakangnya berdiri pria hitam itu dengan memegang sebilah kayu. Aku menatap saudaraku, ia pingsan.
“Mau coba-coba kabur?” ia perlahan melangkahkan kakinya mendekat. Aku mencoba berdiri, mencoba mengayunkan tangan kananku ke muka menyebalkan itu. Percuma. Ia hanya menghindar lantas mendorongku jatuh tersungkur.
“Wah-wah, rupanya tanpa perlu dijemput kalian sudah datang sendiri ke medan maut”ia tersenyum, senyum yang amat menyakitkan, “Oke. Kita habisi dulu yang masih sadar, yang pingsan gampang membunuhnya” habis frase itu, ia perlahan menuju batu yang tadi ia duduki, mengambil botol bir bekas lalu memecahkannya di batu. Muncullah pecahan-pecahan runcing pada botol kaca itu, ia perlahan mendekatiku, dengan tetap membawa botol itu, bahkan memamerkannya dengan bangga.
“Kalau untuk membunuhmu sepertinya tak perlu memakai pistol, cukup dengan botol ini. Kamu suka kan?” Entah ia mengidap penyakit apa, tapi ia begitu menikmati proses membunuh. Ah, apakah manusia telah dibutakan oleh harta? Sehingga malah menikmati sesuatu yang buruk dan tak harusnya dilakukan?
Perlahan ia mulai mendekat. Aku tak bergerak, tetap dengan posisi punggug dibawah sambil meng-aduh memegang lengan kiriku. Pikirku percuma, ia akan tetap mengejarku dan praktisnya akan tetap pada satu hal yang sama. Kematianku. Ia semakin ganas mendekat, mengangkat tinggi-tinggi pecahan botol itu, lantas dengan gesit menurunkannya menuju perutku. Aku hanya menutup mata dengan tangan yang semakin mengeras mengenggam lengan. Tiba-tiba cahaya matahari yang menyemburat dimataku menggelap, ada sesuatu yang menghalangi cahaya itu. Bukan kematian, aku tak merasakan sakit tertusuk. Aku mulai membuka mata.
“Samad!!!” aku berterik keras, sangat keras, mungkin itu adalah teriakan terkerasku. Air mataku sudah mengucur deras. Lihatlah siapa wajah di hadapan wajahku? Wajah itu meringis kesakitan, wajah itu menggigit bibir menahan sakit, dan yang amat pedih, matanya menitikkan air mata yang perlahan mengalir di pipinya lantas jatuh mengenai pipiku, pipi yang kembar.
Dia. Dia menjadikan punggungnya sebagai benteng. Sekarang mungkin punggung itu sudah remuk, darah sudah bercucuran di punggung itu. Tiba-tiba punggungku juga sakit, hingga tak sadar air mataku juga mengalir, teramat deras dari saudaraku. Aku akan kehilangan keluarga lagi. Perlahan ia tersenyum padaku, lalu berbisik lirih. Saudaraku Bahrain, jangan menangis. Tak ada keluargaku yang menangis seperti ini, kamu harus kuat, lawan penjahat-penjahat itu. Setelah itu tiba-tiba tubuhnya jatuh, dijatuhkan ke kiri oleh penjahat bengis itu. Ia merasa puas telah memusnahkan keturunan Ardan yang pertama. Sekarang tinggal aku, sebatang kara.
Mataku sudah berisi api kemarahan, telah di pompa oleh saudaraku dengan kata-kata lirih itu. Ia tertawa melihatku berekspresi melawan. Aku melihat peluang, pistolnya tertata rapi di saku jaketnya. Kakiku perlahan ku goyangkan untuk menjatuhkan tubuhnya, ku tendang kakinya arah horizontal tanah. Ia tersungkur, ia meng-aduh, dan saat itulah aku bergegas merebut pistol dari sakunya. Tentu ia tak tinggal diam, ia mengayunkan pecahan botol itu, mengenai lengan kananku. Tak apa. Sudah ku pegang kendali paling besar.
“Oh-oh. Memangnya kamu bisa memakai alat itu? Memegangnya saja tak becus” ia tertawa melihatku gemetaran memegang alat kepolisian itu. Belum pernah seumur hidup aku menyentuhnya, apalagi memegangnya. Tanpa pikir panjang, aku mendesingkan peluru timah sembarang dengan menutup mata, entah ada yang kena atau tidak.
“Ha? Tampaknya pelurumu sudah habis, dan kau belum melukaiku segores pun?” Pria hitam dan berotot itu sangat sombong. Aku menelisik pistolku, masih tersisa satu peluru. Aku mulai khawatir, alih-alih timah panas yang terakhir tak mengenai manusia rakus harta itu. Tiba-tiba aku teringat satu kalimat mujarab yang diajarkan Ayah-Ibu bahkan saudaraku. Aku memperbaiki posisi pistol, dan dengan mantap aku melafadzkan kalimat itu dengan keras. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM!
Dorr!!!
Penjahat itu memegang dada kirinya, wajahnya menahan sakit, tangannya menahan darah yang mengalir seperti air. Percuma. Peluru itu sudah bersarang di organ produsen darahnya. Ia akan mati dengan cepat karena kehabisan darah. Ia terjatuh tumbang, seperti pohon yang ditebang. Sementara aku? Juga terjatuh, aku sangat lelah, lelah fisik dan jiwa. Saudaraku? Saudara kembarku?
Aku mendekati saudaraku dengan ngesot. Kaki ku sudah sangat lelah untuk digerakkan. Ia mengaduh, aku kegirangan, berarti dia masih bernapas.
            “Samad, kau masih hidup?” aku bertanya padanya, sambil mengangkat kepalanya ke pahaku, menjadikannya bantal, aku mulai duduk. Ia perlahan membuka matanya, lalu tersenyum sangat manis. Aku semakin sedih, mengucur sudah air mataku. Betapa sakitnya saudaraku ini.
“Bahrain, kau masih hidup?” bukannya mengkhawatirkan dirinya, ia malah menanyakan keadaanku. Aku mengangguk saja.
“Bahrain, jangan pernah membenci keluarga kita. Karena asal kau tau, keluarga kita adalah sebab-musabab keamanan bangsa” ia berkata penuh cinta, sambil memasukkan tangannya ke saku jaket mengambil sesuatu.
“Baca surat terakhir dari orang tua kita ini. Tulisan di kertas ini akan menjelaskan kedatangan para penjahat-penjahat yang menyerang kau tadi malam. Aku sudah menelpon polisi pagi tadi saat aku melihat kau diikat di pohon itu. Kau sudah aman, polisi sudah menuju ke sini. Jangan benci kami Bahrain Ardan” ia tersenyum simpul saat mengucapkan frase terakhir itu. Bola matanya bahkan tak terlihat saking senangnya ia mengucap kalimat terakhir itu. Mulutnya mengucap sesuatu, seperti membaca mantra. Dan tangannya tiba-tiba melemah, melepas genggamannya pada tanganku, kepalanya juga melemah, oleng ke kanan. Aku... aku ... menyimpulkan satu hal.
“Kak Samad!!!” aku menangis sesenggukan, saudara kembarku telah tiada. Ia berpulang tanpa mengajakku, meninggalkanku sendiri di dunia yang kejam ini, dunia yang gila harta. Kenapa? Kenapa kau harus pergi saudara? Yang lebih kusesalkan lagi aku belum meminta maaf padanya.
“Samad! Ku mohon kembali, maafkan Bahrain, maafkan kembarmu ini, maafkan adikmu ini!” aku semakin menggila,menggoyang-goyangkan tubuh yang tak bernyawa. Aku membanjir, membanjiri diriku dengan air mata. Aku memukul-mukul tanah, membuat debu beterbangan anggun, seolah mengantar nyawa saudaraku menuju singgasana suci. Aku terdiam, mulai menyadari bahwa saudaraku pasti bahagia di sana. Aku mulai tenang. Air mataku mulai menyusut. Dan untuk terakhir kalinya aku memeluk kepala saudara kembarku dengan amat hangat. Ini pelukan terakhir.
Polisi baru datang beberapa menit kemudian. Membawa mayat-mayat penjahat itu. Mayat-mayat? Yah, di sana ada Pramita juga yang tak sengaja terkena tembakan asalku. Aku bersyukur, tak harus berhadapan dengan wanita bermuka dua itu. Aku dengar dari polisi, mereka adalah keluarga teroris yang sudah dicari bertahun-tahun. Kakeknya adalah bos para teroris yang kemudian terbunuh oleh sepasang suami-istri. Para anak buah teroris itu berhenti, beranggapan bos telah kalah, berarti mereka telah kalah juga. Anak dari bos itu tak terima, ia berjanji akan membunuh seluruh kuturunan Ardan, keturunan ayahku. Bahkan dendam itu ia wariskan kepada anaknya, Pramita dan pria hitam itu. Berarti orang tuaku telah membuat perubahan besar terhadap keamanan negeri ini.
Aku berdiri menggendong mayat saudaraku, walau terlampau sakit lenganku, bekas peluru dan botol pecah. Tak apa, akan ku perjuangkan ini sebagai balas jasaku. Aku menggendongnya keluar hutan, aku sesekali terjatuh lantas berdiri kembali. Sangat lama dan sangat sakit. Lukaku mulai terbuka kembali. Tak apa. Aku harus bisa, bagaimana aku tak bisa, sementara dia saudaraku mengorbankan hidupnya untukku?
Aku sampai di pinggir jalan, melihat mobilku yang penyok kiri-kanan, di belakangnya terdapat mobil dengan sirine. Aku tak peduli, aku memasukkan saudaraku di kuris dekat sopir, aku ingin di dekatnya selalu sebelum dikebumikan. Mobilku menuju rumah sakit terdekat, agar mayat saudaraku dapat dibersihkan dari luka-luka yang menyakitkan baru kemudian dijalankan prosesi selanjutnya. Aku bertahan lama di makam saudaraku. Dengan memeluk lutut menahan tangis, aku memandang gundukan tanah merah itu sampai malam menghantam bumi. Jangan benci aku kembarku.
***
Sebulan kemudian aku baru tahu isi dari surat itu. Surat yang menyedihkan, surat itu dipenuhi bercak-bercak darah.
Anak-anakku, jaga diri kalian. Kami titipkan kalian di panti asuhan ini agar kalian aman dari keluarga teroris yang pendendam itu. Samad, jaga adik kembarmu baik-baik,lindungi dia, dan kasihi dia dengan sepenuh hati. Bahrain, turuti perintah kakak kembarmu, jangan membantahnya, dan kasihi dia pula dengan sepenuh hati. Anak kembarku, bocah-bocah yang menggemaskan, kami memberi kalian nama Samad dan Bahrain bukan tanpa alasan. Kami harap kalian seperti langit dan laut,biru yang berpadu dalam indah kebaikan. Dan kami mohon nak, JANGAN BENCI KAMI.
Baru aku sadari makna nama itu. Memang benar, langit dan laut tampak tak terpisah, utuh menyatu. Kalian pernah ke pantai bukan? Maka tengoklah langit dan laut di pantai itu, maka sejauh mata memandang kalian akan menyadari perpaduan yang indah dari kedua ciptaan itu.

3 komentar:

Jengkel dengan Jerawat? Hindari 4 Kebiasaan yang Memperburuk Jerawat

sumber:  barusip.blogspot.co.id Pemuda-pemudi tentu sangat mengenal yang namanya jerawat. Betapa tidak, sedikit dari kaum muda yang b...