Sumber foto: http://kokoroku.com/wp-content/uploads/2015/04/kiryu.jpg
Mobilku
melaju sudah meninggalkan rumah mewah dan saudaraku yang masih tegak berdiri
dengan wajah bersimbah air mata. Tangannya masih mengepal. Ia menatapku
setengah marah setengah kecewa. Aku tak peduli, dia yang bodoh. Buat apa
kemewahan kalau tidak dinikmati? Lebih baik menikmati segala usaha kita
sendiri, tanpa bantuan dari-, ah! Jengkel aku mengingat orang tuaku.
Diperjalanan
aku berbincang mesra dengan Pramita. Dia sangat pandai membuatku damai dari
permasalah keluargaku yang cukup rumit, ah bukan. Bukan masalah keluarga, lebih
tepatnya masalah persaudaraan. Samad sangat protectif
padaku.
Beberapa
menit di perjalanan, ada sekumpulan motor dan penunggangya yang menghalangi di
depan. Aku terperangah, mau apa geng motor itu? Aku menatap Pramita di
sampingku, barangkali ia ketakutan. Tapi, lihatlah! dia tersenyum sinis, lantas
menatapku tajam, ia tiba-tiba menjadi bukan seperti Pramita yang ku kenal. Ia
membuka pintu mobil. Aku melarangnya, siapa tahu ia diapakan oleh bajingan di
depan. Ia tidak peduli.
Aku
benar-benar heran. Tak ada satu orang pun dari pria berotot itu yang
mengenduskan napas seram padanya, atau minimal memunculkan wajah bengis. Mereka
malah tersenyum pada Pramita lantas memanggilnya bos lalu tertawa bahak
bersama.
Ya ampun. Saudaraku
benar tentang teman wanitaku ini. Percuma aku menyesal,
pria-pria berotot itu sudah mengangkat semua senjatanya, beranjak berjalan
menuju mobilku. Pikiranku menyisakan satu pilihan, kabur. Tapi bagaimana bisa?
Ah, kalau mereka ingin membunuhku, mengapa tak ku bunuh juga mereka semua? Aku
menancap gas, siap melaju kencang menabrak mereka semua.
Braak!!!
Tertabrak
beberapa anggota geng motor itu bersama motornya. Cukup susah menembus
motor-motor gede itu, beruntung mobil yang kumiliki adalah kelas atas. Hantam
habis saja apa yang ada di depan. Mereka mulai mengejar di belakang. Aku
benar-benar kualat pada Ayah, Ibu dan saudaraku. Tak ragu lagi aku mengucap hal
yang lebih spepsifik dari orang tua, Ayah-Ibu. Aku benar-benar bingung. Mungkin
ini adalah ujung hidupku. Dan aku harap mereka ada di depanku, agar aku dapat
meminta maaf.
Tepat
saat kebingungan dan kekhawatiran mulai merasukiku. Terdengar suara tembakan,
aku terka itu dari mereka. Tapi bukan, malah mereka yang terjatuh bersimbah
darah. Aku semakin takut, namun tetap ku laju mobil canggihku. Perlahan mobilku
semakin menjauh, dan aku mulai tak mendengarkan deru suara motor. Aku menengok
kaca spion, ternyata benar, tak ada lagi yang membuntutiku. Aku mulai bernapas
lega, namun seseorang tiba-tiba berbicara di
belakangku, sambil meletakkan pistol di leherku.
“Kau
tak melihatku masuk yah saudara Bahrain Ardan?” ia berbisik di telingaku,
menyeramkan sekali.
“Apa
maumu bajingan?! Katakan dan lepaskan aku! Akan kuberikan semua hartaku jika
kau mau” aku mulai menawarkan. Tapi aku tak yakin, raut dari wajahnya yang ku
lihat dari cermin depan mobil tak menggambarkan hal yang seperti itu.
“Aku
tak butuh uangmu. Aku hanya butuh mayatmu. Maukah kau menjadi mayat untukku?”
ia mulai mengancam, semakin sadis terdengar. Detik yang sangat mengerikan, ia
mulai menarik pedal pistolnya. Kosong. Beruntung pelurunya habis. Segera ku
hentikan mobilku, memutar lengannya yang sedari tadi merangkul leherku, lantas
keluar berlari menuju hutan yang cukup lebat. Tentu ia mengejarku, entah
mengapa ia sangat berhasrat untuk membunuhku.
Dorr!!!
Ia
menembak setelah mengisi peluru. Dia terburu-buru mendesingkan peluru, sangat
takut aku berhasil kabur dari maut yang sudah ia rencanakan. Beruntung hanya
lenganku yang terkena, setidaknya aku masih bisa berlari menjauh.
Aku
mencapai pusat hutan pada dini hari yang sangat dingin. Lenganku masih
sakit,teramat sakit. Namun sedikit terobati oleh dingin yang menusuk. Segera ku
robek lengan bajuku lalu mengikat luka itu agar aku tak kehabisan darah. Aku
sangat lelah, hingga tak sadar aku menjatuhkan diriku di bawah pohon besar.
Siluet Ayah-Ibu entah mengapa tiba-tiba saja melesat di pelupuk mataku.
Kemudian berlanjut dengan wajah saudaraku malam tadi, wajah yang sangat marah
dan kecewa. Maafkan aku saudara. Aku
terisak, benar-benar merasa bersalah. Gelap, tidur.
***
Lengan
kananku terasa sakit, seperti dijerat oleh sesuatu. Lebih lagi lengan kiriku
yang sudah tertanam peluru timah. Perutku juga, seperti ditekan dan ditarik ke
belakang. Aku terbangun. Dan begitu kagetnya, tubuhku sudah terikat di pohon.
“Hahahaha,
kau sudah bangun bocah ingusan” pria yang menyodongkan pistol tadi malam
tertawa renyah. Aku menggeliat, ingin melepaskan diri.
“Hei!
Rupanya kau sudah tak sabar menjemput kematian?”
“Sebenarnya
kamu siapa? Dan apa maumu?” aku benar-benar bingung.
“Mau
tau namaku? Tak penting. Yang terpenting sekarang adalah nikmati detik-detik
terakhirmu. Karena setelah bir ini habis, maka maut akan segera menjemputmu.
Hahaha!” ia kembali tertawa, kemudian meneguk kembali minuman khamr itu.
“Lantas
apa alasanmu ingin membunuhku?”
“Ini
sebenarnya dendam masa lalu anak tampan. Ini adalah dendam kesumat dari kakek
kepada keluarga kalian. Aku dan Pramita hanya akan dapat mewarisi harta
keluarga kami bila kami telah membalas dendam kakek kepada keturunan keluarga
Ardan. Orang tua kalian sudah mati, dan itu tugas orang tua kami. Dan sekarang
mereka mewariskan tugas membunuh kalian kepada kami” ia menjelaskan dengan
penuh amarah. Kesalahan apa yang orang tuaku lakukan sehingga sampai melahirkan
dendam sekronis itu? Dan bagaimana dengan saudaraku?
Hah?
Tiba-tiba saja saudaraku berjalan dari belakang orang seram itu.
PAKKK!!!
Sepotong
kayu tepat mengenai pundak orang asing itu. Tumbang sudah. Samad segera berlari
ke arahku, aku dapat merasakan rasa takut kehilangan keluarga satu-satunya pada
dia. Ia segera melepas ikatan yang sangat keras mengikat.
“Kau
tak apa-apa Bahrain?” ia segera menghambur memelukku. Pundakku terasa hangat
dijatuhi tetes air mata. Mataku juga mulai memanas, merasakan sedih yang sama,
ketakutan kehilangan keluarga lagi.
“Ayo-ayo.
Kita segera pergi” ia menatapku sangat takzim, aku membalas menatap matanya
yang sangat persis denganku. Ia lantas berdiri menarik tanganku, membantuku
untuk berdiri dan berjalan. Nahas, sebelum aku berdiri, ia sudah jatuh duluan.
Tepat di belakangnya berdiri pria hitam itu dengan memegang sebilah kayu. Aku
menatap saudaraku, ia pingsan.
“Mau
coba-coba kabur?” ia perlahan melangkahkan kakinya mendekat. Aku mencoba
berdiri, mencoba mengayunkan tangan kananku ke muka menyebalkan itu. Percuma.
Ia hanya menghindar lantas mendorongku jatuh tersungkur.
“Wah-wah,
rupanya tanpa perlu dijemput kalian sudah datang sendiri ke medan maut”ia
tersenyum, senyum yang amat menyakitkan, “Oke. Kita habisi dulu yang masih
sadar, yang pingsan gampang membunuhnya” habis frase itu, ia perlahan menuju
batu yang tadi ia duduki, mengambil botol bir bekas lalu memecahkannya di batu.
Muncullah pecahan-pecahan runcing pada botol kaca itu, ia perlahan mendekatiku,
dengan tetap membawa botol itu, bahkan memamerkannya dengan bangga.
“Kalau
untuk membunuhmu sepertinya tak perlu memakai pistol, cukup dengan botol ini.
Kamu suka kan?” Entah ia mengidap penyakit apa, tapi ia begitu menikmati proses
membunuh. Ah, apakah manusia telah dibutakan oleh harta? Sehingga malah
menikmati sesuatu yang buruk dan tak harusnya dilakukan?
Perlahan
ia mulai mendekat. Aku tak bergerak, tetap dengan posisi punggug dibawah sambil
meng-aduh memegang lengan kiriku. Pikirku percuma, ia akan tetap mengejarku dan
praktisnya akan tetap pada satu hal yang sama. Kematianku. Ia semakin ganas
mendekat, mengangkat tinggi-tinggi pecahan botol itu, lantas dengan gesit
menurunkannya menuju perutku. Aku hanya menutup mata dengan tangan yang semakin
mengeras mengenggam lengan. Tiba-tiba cahaya matahari yang menyemburat dimataku
menggelap, ada sesuatu yang menghalangi cahaya itu. Bukan kematian, aku tak
merasakan sakit tertusuk. Aku mulai membuka mata.
“Samad!!!”
aku berterik keras, sangat keras, mungkin itu adalah teriakan terkerasku. Air
mataku sudah mengucur deras. Lihatlah siapa wajah di hadapan wajahku? Wajah itu
meringis kesakitan, wajah itu menggigit bibir menahan sakit, dan yang amat
pedih, matanya menitikkan air mata yang perlahan mengalir di pipinya lantas
jatuh mengenai pipiku, pipi yang kembar.
Dia.
Dia menjadikan punggungnya sebagai benteng. Sekarang mungkin punggung itu sudah
remuk, darah sudah bercucuran di punggung itu. Tiba-tiba punggungku juga sakit,
hingga tak sadar air mataku juga mengalir, teramat deras dari saudaraku. Aku
akan kehilangan keluarga lagi. Perlahan ia tersenyum padaku, lalu berbisik
lirih. Saudaraku Bahrain, jangan
menangis. Tak ada keluargaku yang menangis seperti ini, kamu harus kuat, lawan
penjahat-penjahat itu. Setelah itu tiba-tiba tubuhnya jatuh, dijatuhkan ke
kiri oleh penjahat bengis itu. Ia merasa puas telah memusnahkan keturunan Ardan
yang pertama. Sekarang tinggal aku, sebatang kara.
Mataku
sudah berisi api kemarahan, telah di pompa oleh saudaraku dengan kata-kata
lirih itu. Ia tertawa melihatku berekspresi melawan. Aku melihat peluang,
pistolnya tertata rapi di saku jaketnya. Kakiku perlahan ku goyangkan untuk
menjatuhkan tubuhnya, ku tendang kakinya arah horizontal tanah. Ia tersungkur,
ia meng-aduh, dan saat itulah aku bergegas merebut pistol dari sakunya. Tentu
ia tak tinggal diam, ia mengayunkan pecahan botol itu, mengenai lengan kananku.
Tak apa. Sudah ku pegang kendali paling besar.
“Oh-oh.
Memangnya kamu bisa memakai alat itu? Memegangnya saja tak becus” ia tertawa
melihatku gemetaran memegang alat kepolisian itu. Belum pernah seumur hidup aku
menyentuhnya, apalagi memegangnya. Tanpa pikir panjang, aku mendesingkan peluru
timah sembarang dengan menutup mata, entah ada yang kena atau tidak.
“Ha?
Tampaknya pelurumu sudah habis, dan kau belum melukaiku segores pun?” Pria
hitam dan berotot itu sangat sombong. Aku menelisik pistolku, masih tersisa
satu peluru. Aku mulai khawatir, alih-alih timah panas yang terakhir tak
mengenai manusia rakus harta itu. Tiba-tiba aku teringat satu kalimat mujarab
yang diajarkan Ayah-Ibu bahkan saudaraku. Aku memperbaiki posisi pistol, dan
dengan mantap aku melafadzkan kalimat itu dengan keras.
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM!
Dorr!!!
Penjahat
itu memegang dada kirinya, wajahnya menahan sakit, tangannya menahan darah yang
mengalir seperti air. Percuma. Peluru itu sudah bersarang di organ produsen
darahnya. Ia akan mati dengan cepat karena kehabisan darah. Ia terjatuh
tumbang, seperti pohon yang ditebang. Sementara aku? Juga terjatuh, aku sangat
lelah, lelah fisik dan jiwa. Saudaraku? Saudara kembarku?
Aku
mendekati saudaraku dengan ngesot.
Kaki ku sudah sangat lelah untuk digerakkan. Ia mengaduh, aku kegirangan,
berarti dia masih bernapas.
“Samad, kau masih hidup?” aku
bertanya padanya, sambil mengangkat kepalanya ke pahaku, menjadikannya bantal,
aku mulai duduk. Ia perlahan membuka matanya, lalu tersenyum sangat manis. Aku
semakin sedih, mengucur sudah air mataku. Betapa sakitnya saudaraku ini.
“Bahrain,
kau masih hidup?” bukannya mengkhawatirkan dirinya, ia malah menanyakan
keadaanku. Aku mengangguk saja.
“Bahrain,
jangan pernah membenci keluarga kita. Karena asal kau tau, keluarga kita adalah
sebab-musabab keamanan bangsa” ia berkata penuh cinta, sambil memasukkan
tangannya ke saku jaket mengambil sesuatu.
“Baca
surat terakhir dari orang tua kita ini. Tulisan di kertas ini akan menjelaskan
kedatangan para penjahat-penjahat yang menyerang kau tadi malam. Aku sudah
menelpon polisi pagi tadi saat aku melihat kau diikat di pohon itu. Kau sudah
aman, polisi sudah menuju ke sini. Jangan
benci kami Bahrain Ardan” ia tersenyum simpul saat mengucapkan frase
terakhir itu. Bola matanya bahkan tak terlihat saking senangnya ia mengucap
kalimat terakhir itu. Mulutnya mengucap sesuatu, seperti membaca mantra. Dan
tangannya tiba-tiba melemah, melepas genggamannya pada tanganku, kepalanya juga
melemah, oleng ke kanan. Aku... aku ... menyimpulkan satu hal.
“Kak
Samad!!!” aku menangis sesenggukan, saudara kembarku telah tiada. Ia berpulang
tanpa mengajakku, meninggalkanku sendiri di dunia yang kejam ini, dunia yang
gila harta. Kenapa? Kenapa kau harus pergi saudara? Yang lebih kusesalkan lagi
aku belum meminta maaf padanya.
“Samad!
Ku mohon kembali, maafkan Bahrain, maafkan kembarmu ini, maafkan adikmu ini!”
aku semakin menggila,menggoyang-goyangkan tubuh yang tak bernyawa. Aku
membanjir, membanjiri diriku dengan air mata. Aku memukul-mukul tanah, membuat
debu beterbangan anggun, seolah mengantar nyawa saudaraku menuju singgasana
suci. Aku terdiam, mulai menyadari bahwa saudaraku pasti bahagia di sana. Aku
mulai tenang. Air mataku mulai menyusut. Dan untuk terakhir kalinya aku memeluk
kepala saudara kembarku dengan amat hangat. Ini pelukan terakhir.
Polisi
baru datang beberapa menit kemudian. Membawa mayat-mayat penjahat itu. Mayat-mayat? Yah, di sana ada Pramita
juga yang tak sengaja terkena tembakan asalku. Aku bersyukur, tak harus
berhadapan dengan wanita bermuka dua itu. Aku dengar dari polisi, mereka adalah
keluarga teroris yang sudah dicari bertahun-tahun. Kakeknya adalah bos para
teroris yang kemudian terbunuh oleh sepasang suami-istri. Para anak buah
teroris itu berhenti, beranggapan bos telah kalah, berarti mereka telah kalah
juga. Anak dari bos itu tak terima, ia berjanji akan membunuh seluruh kuturunan
Ardan, keturunan ayahku. Bahkan dendam itu ia wariskan kepada anaknya, Pramita
dan pria hitam itu. Berarti orang tuaku telah membuat perubahan besar terhadap
keamanan negeri ini.
Aku
berdiri menggendong mayat saudaraku, walau terlampau sakit lenganku, bekas
peluru dan botol pecah. Tak apa, akan ku perjuangkan ini sebagai balas jasaku.
Aku menggendongnya keluar hutan, aku sesekali terjatuh lantas berdiri kembali.
Sangat lama dan sangat sakit. Lukaku mulai terbuka kembali. Tak apa. Aku harus
bisa, bagaimana aku tak bisa, sementara dia saudaraku mengorbankan hidupnya
untukku?
Aku
sampai di pinggir jalan, melihat mobilku yang penyok kiri-kanan, di belakangnya
terdapat mobil dengan sirine. Aku tak peduli, aku memasukkan saudaraku di kuris
dekat sopir, aku ingin di dekatnya selalu sebelum dikebumikan. Mobilku menuju
rumah sakit terdekat, agar mayat saudaraku dapat dibersihkan dari luka-luka
yang menyakitkan baru kemudian dijalankan prosesi selanjutnya. Aku bertahan
lama di makam saudaraku. Dengan memeluk lutut menahan tangis, aku memandang
gundukan tanah merah itu sampai malam menghantam bumi. Jangan benci aku kembarku.
***
Sebulan
kemudian aku baru tahu isi dari surat itu. Surat yang menyedihkan, surat itu
dipenuhi bercak-bercak darah.
Anak-anakku, jaga diri
kalian. Kami titipkan kalian di panti asuhan ini agar kalian aman dari keluarga
teroris yang pendendam itu. Samad, jaga adik kembarmu baik-baik,lindungi dia,
dan kasihi dia dengan sepenuh hati. Bahrain, turuti perintah kakak kembarmu,
jangan membantahnya, dan kasihi dia pula dengan sepenuh hati. Anak kembarku,
bocah-bocah yang menggemaskan, kami memberi kalian nama Samad dan Bahrain bukan
tanpa alasan. Kami harap kalian seperti langit dan laut,biru yang berpadu dalam indah kebaikan. Dan kami mohon nak, JANGAN BENCI KAMI.
Baru
aku sadari makna nama itu. Memang benar, langit dan laut tampak tak terpisah,
utuh menyatu. Kalian pernah ke pantai bukan? Maka tengoklah langit dan laut di
pantai itu, maka sejauh mata memandang kalian akan menyadari perpaduan yang indah dari kedua ciptaan itu.
keren
BalasHapuscool
anca banget.....
:D
nice, nca
BalasHapusancaaaa......
BalasHapus