|
Google |
Dunia benar-benar kacau selama dua
puluh tahun terakhir ini. Jika dilihat dari Planet Mars maka tak ada lagi
sepetak hijau yang melekat. Biru menguasai Bumi. Dua puluh tahun silam es
mencair serentak, Kutub Utara dan Kutub Selatan berkolerasi, air laut pasang, menenggelamkan
daratan, hanya tersisa secerca hijau yang masih pula menyisakan kehidupan
bagiku dan penduduk Bumi lain yang masih bertahan.
Di Bumi sekarang ini terbagi tiga golongan besar
manusia. Manusia pelindung, perusak dan manusia tak acuh yang hanya
menggantungkan hidup pada nasib. Apa yang kami lindungi, rusaki atau bahkan ditak
acuhkan saja? Adalah secerca hijua itu, pohon Tree Of Life. Aku adalah kaum pelindung pohon agung itu.
Bersama dengan kawanku sesama pelindung, kami
tinggal tepat melingkari pulau yang disinggah akari oleh Tree Of Life, Pohon Kehidupan. Rumah-rumah sekarang kurang lebih
dapat disebut ‘Rumah Perahu’ karena mengapung dengan anggun di lautan luas.
Tanah subur benar-benar raib, tak ada tempat untuk mematoki tiang pusar rumah.
Sekarang malah lautan menjadi tak beraturan karena ulah perusak dan penduduk tak
acuh yang hanya mementingkan kehidupan pribadi.
Tree Of Life adalah satu-satunya penghasil oksigen di muka Bumi
ini. Khusus dipersembahkan untuk kami para warga Bumi. Benar-benar Pohon yang
telah diberkahi oleh Tuhan. Tapi entah mengapa Si Perusak itu malah ingin
menghancurkan sumber esensial itu, bukannya mereka juga akan mati nantinya jika
pohon itu tumbang tak menghasilkan oksigen? Entah dimana mereka menyimpan otak.
Tapi semua itu tak apa, aku bangga dengan gelarku
yang selalu disebut bersama namaku, Guardianteli.
Singkatan dari Guardian Of ‘Tree Of Life’,
Penjaga Pohon Kehidupan. Sedang namaku sendiri berasal dari bahasa Arab, kata
dasar Ard berarti Bumi. Jadi kurang lebih sempurna namaku bermakna Bumi Penjaga
Pohon Kehidupan. Bumi sendirilah yang harusnya melindungi semua pohon-pohon
hijau terdahulu, namun manusia lebih rakus lagi menghancurkan Bumi. Sekarang
tinggalah aku Si Bumi kedua, Ardan Guardianteli.
***
Tugas kami para Guardianteli
adalah menjaga Tree Of Life dengan
rapi. Tak pernah boleh terjadi pertempuran di pulau kecil itu. Satu daun muda
yang jatuh, maka menghilangkan satu hektare oksigen di bumi. Maka jika kaum
Perusak menyerang, maka kami harus memancing mereka menjauh dari pohon. Pertempuran
kami lakukan di bawah laut. Kehancuran Bumi membuat kami berevolusi dapat
bernapas lebih lama dalam air.
Dua hari kedepan adalah hari yang
kami damba, adalah hari dimana Bumi telah mengalami 21 tahun dalam fase
kerusakan fatal. Saat itulah bibit Tree
Of Life yang pertama akan tumbuh, membawa harum semerbak serta harapan yang
menumpuk. Bibit itu kemudian akan kami jatuhkan tepat pada titik khatulistiwa,
dan akan tumbuh menjadi pulau yang baru bersama Tree Of Life yang kedua. Jadilah Bumi ini akan mendapat mahkota
kedua. Begitulah yang akan terus diwarisi generasi kami, menunggu selama 21
tahun untuk memperoleh bibit baru, sampai bumi dipenuhi hijau kembali, benar-benar
perjuangan.
“Hei! Itu kaum Perusak!” Ramiro
berteriak keras, membuyarkan hayalanku tentang dua hari kedepan. Ia menunjuk
sebelah timur samudra, terlihat buram mereka melaju kencang dengan perahu
inovasi kami yang telah mereka curi. Semakin terlihat jelas wujud mereka, tiga
perahu besar. Dua perahu berbendera merah, dan satunya lagi... apa maksud Kaum Tak
Acuh berbendera putih itu?
Tanpa pikir panjang, tangan kami sudah mencekal
papan kayu, tombak, parang, panah, bahkan pistol bawah air yang siap menembus
hati sempit mereka. Beberapa kawan lain juga sudah membimbing perahu untuk
berlayar. Dengan gagah, Mento mengibarkan kain hijau. Kami siap bertugas.
Deburan ombak menjawab semangat kami, suara mesin
ramah lingkungan terdengar ramah, namun tak seramah ketika bertempur melindungi
pusat kehidupan yang mulai sekarat. Kami harus cepat, jarak kami dari pulau
inti harus sekitar satu kilometer, tak boleh satupun bahan kimia yang boleh
mencolek Tree Of Life. Rentan sekali.
Pertempuran sengit terjadi begitu saja, tanpa naskah
ataupun latihan. Segera kuceburkan diriku ke dalam air, sementara yang lain
bertahan beberapa menit untuk menghalau serangan, kemudian menyusul selam.
Belum satu menit terbelenggu air, kaum perusak juga menyeruak permukaan air.
Mereka mulai menembaki kami dengan peluru timah yang asal saja, karang-karang
berhamburan, ikan-ikan melarikan diri mencari tempat lindung, benar-benar menjengkelkan
mereka. Daratan sudah hancur, apa mereka juga hendak membinasakan laut? Mataku
berapi, serasa hawa laut memanas. Kugerakkan kakiku dengan cepat arah vertikal,
aku menjemput peluru mereka, meliuk bagai duyung, menghindar, tangan kanan
memegang tombak, kuhempas tongkat mata runcing dengan beringas, tepat mengenai
perut Marvent, putra Ketua Kaum Perusak.
“Bagus Guardianteli!
Lakukan terus! Masih banyak dari mereka” Kapten Terre berteriak menyemangati,
sudah jatuh tujuh musuh. Benar-benar sukses pertempuran kali ini. Betapa tidak,
sisa dua hari lagi puncak kehidupan akan bertambah tinggi. Bibit Tree Of Life. Tak akan kami biarkan
harapan itu hancur. Semakin ganas kami menyerbu, peluru-peluru mereka ditembak
ganas pula, namun kami lebih terlatih, liak sana-liuk sini, mudah kami
menghindar, lantas bila target sudah mengempuk, segera kami tikam, tembak atau
sekadar memukul.
“Kau sudah tak bisa apa-apa lagi Tuan Perusak” ancam
Kapten Terre pada Ibil, ketua Kaum Perusak. Ibil tak takut, malah sekarang
tersenyum sinis di atas perahu. Ia tertawa bahak, sangat gembira terdengar.
“Dimana urat rasa kalian? Tak merasakan napas kalian
tersenggal sekarang?” ia menyembur pertanyaan aneh, meski memang napas kami
susah terkontrol, “Dan juga tak sadar dengan raibnya kapal Kaum Tak Acuh?” ia
melanjutkan.
Kami seperti tersetrum, baru menyadari keganjilan
yang kami hiraukan. Kemana gerangan kapal bendera putih itu? Lalu mengapa napas
kami terengah-engah seperti ini? Entah, Ibil benar-benar menanam pohon tanya
pada kami.
“Tree Of Life kalian akan binasa!” Ibil bersuara
tiba-tiba, segera membuncahkan rasa takut.
“Tidak mungkin!” teriak Kapten.
“Dasar bodoh, kalian pikir buat apa kami menyerang
tembak saja tidak menombak atau minimal berenang ke arah kalian untuk memukul?”
Ia diam, menunggu reaksi, “Kami mengulur waktu kalian. Sekarang Kaum Tak acuh
dungu itu mungkin sudah setengah kerja, menyisakan setengah diameter batang Tree Of
Life. Tinggal beberapa menit lagi pohon itu akan tumbang
menghanguskan oksigen kalian.”
“Ah! Diam kau!” teriakku sambil membidik jantungnya,
tombakku telak menembus jantungnya. Aku tersenyum jemawa melihatnya kesakitan
memegang tombak yang sudah tertancap. Namun bukan darah yang mengalir keluar,
kepulan asab yang bermunculan. Ia kembali tertawa, tertawa yang menjengkelkan.
Dengan mudah ia menarik tombak, membuat kepulan asap bertambah pekat. Sedetik
asap hilang menyisakan dada kiri yang masih utuh, hanya baju yang sobek. Kami
terperangah, sihir macam apa yang dianut Ibil ini?
“Sudah kuduga sejak lama, kau adalah Iblis
terkutuk!” Kapten Terre berucap pasti. Yang diteriaki memasang wajah bangga.
“Maksud Kapten?” aku memecah balon tanya. Kapten Terre
tak menjawab, tetap menatap marah Ibil yang dianggapnya Iblis.
“Tak ada waktu para Pelindung! Segera kembali ke
pusat Tree Of Life! Tak ada gunanya
mengurusi Iblis bertubuh manusia itu” Kapten segera berbalik badan mengunyah
daun kering Pohon Kehidupan. Itu
pertanda kondisi darurat. Daun kering itu
sangat langka, hanya jatuh setiap satu tahun sekali dan hanya boleh digunakan
pada keadaan terpaksa. Kami ikut mengunyah daun kering. Segera badan kami
dipenuhi stamina. Kupijakkn kakiku pada permukaan air, lantas tanganku cepat ku
ayun ke belakang seperti hendak berlari. Maka melesatlah tubuhku seperti
mengendarai ski air. Begitulah salah satu kekuatan daun kering itu, membuat
kami dapat berjalan dan melesat cepat di atas air.
“Sebenarnya apa yang
terjadi Kapten?” aku berhasil menyamakan posisi dengan Kapten Terre.
“Kau tau Ardan? Sudah sejak lama aku menduga kedok
Ibil itu. Tidak mungkin manusia berakal ingin menghancurkan Pohon yang
menyediakan mereka oksigen,” Kapten terdiam sejenak,” karena Ibil bukan manusia,
dia Raja Iblis Khatulistiwa. Raja dari segala raja Iblis di dunia paceklik.
Selama hidup ia terus meracuni pikiran manusia, terutama manusia Tak Acuh.
Sebenarnya dulu tidak ada golongan penghancur, namun berkat ulah Ibil beserta
bala tentaranya ia mencipta partai baru, Kaum Penghancur. Kaum itu adalah
himpunan manusia tak acuh yang sudah menghitam hatinya, tak menyisakan titik
putih karena racun goda yang sudah berlumur.”
“Lalu mengapa Ibil tidak menggoda kita saja?” aku
mendaftar pertanyaan kedua.
“Karena kita adalah Guardianteli, kaum yang dekat dengan Pohon Suci yang diberkahi.
Ibil tak dapat meracuni kita atau bahkan untuk sekadar meneteskan racun itu,
tubuh kita otomatis melindungi. Kau pasti tidak pernah melihat Ibil mendekati
kita dengan jarak satu meter bukan? Karena ia akan merasa panas bila berada
lebih dekat dengan para Pelindung,
bila kau memeluknya maka seutuh tubuhnya akan terbakar. Dan kau bisa lihat
sediri, saat kita berbalik ia tidak mengerjar ” aku tekesiap, memang Ibil tak
mengejar, bahkan malah lenyap bersama asap hitam.
“Tak ada gunanya memikirkan Iblis itu. Segera
percepat diri, dunia sudah diambang mati” Kapten menyudahi percakapan.
Aku mengerti, kukencangkan lagi
lajuku. Disana sudah terlihat Tree Of
Life, tampak bergoyang-goyang daun rimbunnya. Aku tak dapat membayangkan
kemungkinan terburuk. Manusia dapat seketika musnah begitu Pohon itu jatuh.
Sepersekian menit kami tiba di pesisir pulau. Kaum Tak acuh menggerakkan
kiri-kanan sebuah logam datar, mereka menggergaji batang Tree Of Life.
“Hentikan kaum bodoh!” Aku sudah berteriak lebih
dulu, benar-benar membara amarahku. Namun mereka malah tak acuh denganku. Ah, benar-benar kaum tak berguna. Kapten
Terre tak memperhatikan kejengkelanku, lantas turun lebih dulu menapaki tanah,
segera mencekal batang tubuh mereka. Orang-orang berkulit abu-abu itu membalas
dengan memutar badan dengan lincah, tampaknya mereka sudah dilatih lebih dahulu
sebelum beraksi. Genggaman tangan Terre terlepas. Belum sempat mengembalikan
posisi tubuh, Terre ditendang kencang kebelakang.
Hal tersebut membuat kami geram. Aku dan yang lain sudah
mengangkat tombak, mengincar jantung mereka. Tombak terhempas. Sia-sia, mereka
menghindar. Aduhai, obat apa yang dirasukkan dalam diri mereka. Sekarang mereka
malah memungut tombak kami, lantas membelah udara dengan batang tembaga itu. Bahuku
tergores, perih. Sementara Nidri, putri perkasa Kapten Terre tertusuk tepat di
perutnya. Darah mengucur sudah, hatiku kian sesak.
Kaki kami terus melaju, mendekati Kaum Tak Acuh. Tak
ada senjata, tak apa. Gunakan apa yang ada, walau itu hanya sengenggam udara. Perang
tak dapat dibendung. Kali ini bukan pertempuran bawah laut. Baru pertama
kalinya bumi ini mendapati pertempuran darat setelah hampir 21 tahun mengalami
kehancuran. Benar-benar hari ini menjadi penentu.
Benar-benar tak ada harapan lagi jika Tree Of Life musnah. Teriakan-teriakan
dan bunyi benturan tangan menyertai perjuangan kami. Tak kami biarkan
penungguan kami sia-sia begitu saja. Aku mulai tahu teknik kelahi mereka. Baik,
akan kugunakan cara ini. Kuberikan kode kepada yang lain, bahasa telepati Kaum
Pelindung. Mereka mengerti. Kami membiarkan mereka terus menuruti hasrat memukul.
Gesit kami menghindar, seperti kadal pohon yang tetap lincah kendati pijakan
pohon tiada. Lalu jika tangan kulit abu-abu itu mendekati samping telinga,
segera muncul sifat ganas kami, menggigit tangan mereka, menyebarkan liur racun
hasil kunyahan daun kering Pohon Kehidupan.
Mereka memundurkan langkah, mengenggam lengan
mereka. Sudah terlambat, mereka akan binasa. Mereka berlutut, merunduk, seolah
memeluk sakit.
“Jangan percaya Guardianteli!,”
Kapten Terre berteriak tiba-tiba, sembari menghindar dari pukulan musuh lain,
“itu kamuflase, mereka menjalarkan racun dari dalam tanah. Cepat ludahi tanah
di sekitar kalian” Kapten memerintah. Kami mengikut saja. Terciptalah asap
hitam ketika kami meludahi hamparan tanah sekitar, hampir kami mati perlahan.
Itu adalah racun pamungkas Kaum Tak Acuh. Mereka dapat mengalirkan racun ke
beberapa medium. Lantas mengapa racun
kami tak mempan?
Belum sempat kami meretas tanya, Kaum Tak Acuh mulai
menyemprotkan serbuk ungu. Racun kedua dengan medium udara. Benar-benar, Pohon
Kehidupan akan bertambah sakit dengan semua bahan kimia ini. Kami hanya dapat
menahan napas, dan tak henti terus melakukan penyerangan. Kami maju, namun
bertarung dengan napas yang tertahan dan terengah membuat kami kewalahan.
Uronas yang begitu semangat kini tumbang, serbuk itu berhasil menggerogoti
pernapasannya. Satu demi satu para Pelindung
jatuh merangkul harapan besar, selamatkan
bumi ini.
Aku sudah tak tahan, aku mulai terbatuk lantas
dijatuhi tendangan dari salah seorang musuh. Terlemparlah tubuhku. Apakah
sekarang adalah giliranku? Kapten Terre tiba-tiba saja mencium kepalaku, aku
tahu itu. Adalah penyaluran beberapa usia hidup. Darahku mulai menormal, suhu tubuhku
mulai seimbang, dan tentu gerakanku akan lebih gesit lagi. Aku menatap Kapten
Terre.
“Kenapa kau melakukannya Kapten?” kukirim
telepatiku.
“Karena sesuatu hal besar ada pada dirimu” Kapten
Terre tersenyum menjawab. Ia kemudian menghirup seluruh serbuk ungu itu.
Kembali bening udara. Ia bejalan tersuruk mendekati Tree Of Life. Dapat kulihat jelas wajahnya. Wajah yang menampung
beban yang teramat sakit. Cairan bening mengalir dari ceruk matanya. Tidak
pernah ada sejarahnya Kapten Terre menangis. Kapten yang berambut hitam
diselingi putih tersebut mulai membentangkan tangan, seolah memasrahkan diri.
Jelas, Kaum Tak Acuh seketika berhasrat menyerang. Mereka memajukan ujung
tombak dengan beringas pada tubuh Kapten, aku dan yang lain berusaha berdiri, hendak
membantu, namun entah tubuh kami seperti membeku.
Tertusuk sudah tubuh Pemimpin kami, ujung-ujung
tombak tampak menyembul dari tubuhnya. Aku menatap bisu, mulutku menganga kaku.
Pemimpin kami dibunuh dengan ganas. Tapi kapten tak mengubah posisi, tetap membentangkan
tangan. Sedetik-semenit kami dapat merasakan sakit Kapten Terre, sakit hati
jikalau kehilangan satu-satunya pohon dan tentu sakit tertusuk tiga tombak dari
tiga arah. Di tengah terjangan sakit, Kapten masih sempat menengok kami sambil menyemburatkan
senyum simpul. Aku tak sanggup melihatnya. Lihatlah Kapten seperti pendosa yang
dihukum mati.
Entah, tiba-tiba saja cahaya seperti terbit di tubuh
Kapten Terre, begitupula dengan Tree Of
Life. Kaum Tak Acuh mengaduh kesakitan, teramat sakit terdengar. Sebentar
sekali peristiwa itu. Tubuh anggotan Kaum Tak Acuh seperti raib, tidak
menyisakan bekas. Lantas cahaya itu gegas menyebar memenuhi seluruh jarak
pandang kami. Silau namun menenangkan jiwa. Aku mendapat telepati, jenis
telepati yang amat langka.
“Kau tahu nak,
tidak sedemikian rupa aku menyalurkan setengah umurku padamu. Demikian bukan
hanya usia dan energi yang tersalur,
namun sekaligus darah pemimpin baru. Seharusnya pergantian pemimpin terjadi
setelah munculnya benih. Tak akan ada anggota dari kaum kita yang akan dapat
memimpin sebelum bibit pertama muncul. Namun ini semua di luar rencana. Dan aku
melihat hal yang lebih besar darimu daripada kawanmu yang lain bahkan diriku
sendiri. Maka kuberi kau darah pemimpinku, hal besar darimu itu sudah cukup
untuk membantumu memimpin, maka kupilihlah dirimu wahai Ardan. Orang tua ini
harus menghilangi, TAPI TETAP DI SINI.”
Habis telepati itu, cahaya menyusut cepat pada satu
inti titik ditengah pulau, lantas dengan cepat kembali menyemburkan butir-butir
cahaya yang indah. Membawa kedamaian dan ketenangan. Mataku basah haru,
lihatlah di pusat pulau! Tree Of Life tetap
menegak dengan gergaji besar dan tombak yang berserakan di sekitarnya. Tak
habis pikir diriku, perjuangan kami tidak sia-sia. Kawan lain segera menghambur
saling peluk, mengacak rambut sebagai tanda kegembiraan. Tak terkecuali diriku,
Mento dan Ramero melepas gembira. Kuacak keras rambut ikal Mento. Kami bersuka
ria.
Di balik itu semua, keanehan masih menggantung. Kaum
Tak Acuh tak menyisakan jejak walau sebatas bau amis mereka. Begitupulah Kapten
Terre. Aku masih rabun fakta, apa maksudnya ‘orang
tua ini harus menghilangi, tapi tetap di sini.’ Apakah Kapten Terre menjelma
bagian Tree Of Life yang hilang karena digesek logam raksasa?
Terkaanku benar-benar luar akal.
“Kau sudah dapat telepati Ardan?” tanya Romero yang
memperbaiki rambut panjangnya, telah dililit kayu kecil oleh Mento.
“Yah, dan sepertinya kalian juga,” aku menarik
napas, “Ro, aku ingin meyakini bahwa bagian Tree
Of Life yang digergaji itu benar-benar adalah tubuh dan nyawa Kapten,”
lanjutku. Tampak wajah Remero memaklumi.
“Tak apa kau menerka. Yang terpenting kau yakin
bahwa tentu kapten akan melakukan sesuatu yang bijak. Termasuk mengangkatmu
sebagai penggantinya” Romero mulai meletakkan genggaman tangan kanan di dada
kiri dan tangan kirinya memeluk perut secara bersamaan. Penghormatana khas Kaum
Pelindung. Kawan lain mengikut. Suasana seorang pemimpin menyergapku. Aku akan
memimpin para Guardianteli dalam
penangguhan bibit pertama. Kami harus menunggu 21 tahun lagi.
Kaki senja mulai menapaki Bumi, kami mengelilingi Tree Of Life. Kami berikrar akan
benar-benar melindungi Pohon Kehidupan beserta nyawa Kapten Terre didalamnya.
Sore itu kami dikungkung haru. Harapan baru mulai menyala, kami rajut semangat.
Duhai waktu, jalankan cepat 21 tahunmu.