Sumber: Google Gambar |
Nama Arung Palakka yang dikenal sebagai pangeran dan pejuang
kemerdekaan Kerajaan Bone tetap harum sampai sekarang ini. Akan tetapi, sejarah
buruk yang menyatakan bahwa Arung Palakka berkoalisi dengan VOC untuk
menjatuhkan Kerajaan Gowa membuat namanya menjadi busuk bagi sebagaian masyarakat
khususnya masyarakat etnis Makassar. Arung Palakka dikenal sebagai tokoh yang
kontroversial dengan kedua sisinya yang berbeda. Di satu sisi dianggap sebagai
pahlawan, dan di sisi lainnya malah dianggap sebagai pengkhianat.
Rasa siri na pecce’ yang sangat
dijunjung tinggi oleh masyarakat Bone termasuk Arung Palakka menjadi sebab
utama Raja Bone ke-15 tersebut melakukan perlawanan terhadap Kerajaan Gowa. Sebagai
pemimpin Bone, Arung Palakka tidak menerima perlakuan bangsawan Gowa yang
menindas rakyat Bone dalam hal perbudakan.
Penerapan kerja paksa untuk
membangun benteng di perkebunan daerah Makassar membuat rasa siri atau harga
diri masyarakat Bone lebih-lebih Arung Palakka terinjak-injak. Apalagi saat
kebijakan kerja paksa tersebut dilimpahkan kepada para bangsawan Bone, sehingga
mereka diharuskan ikut kerja paksa. Sehingga Arung Palakka kemudian melarikan
orang-orang Bugis dari kerja paksa tersebut dengan bantuan Tobala yang ternyata
merupakan pemimpin dari Bone yang ditunjuk untuk mengurusi budak Bone.
Raja Bone yang bergelar La Tenritatta To Unru To-ri SompaE Petta MalampeE
Gemme'na Daeng Serang To' Appatunru Paduka Sultan Sa'adduddin tersebut
yang merasa dijajah oleh Kerajaan Gowa, akhirnya meminta
bantuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Gowa. Namun
sebelum ke Jawa untuk memperoleh bantuan VOC, Arung Palakka terlebih dahulu
menuju ke Buton untuk merenungi diri dan mencari strategi.
Ketika pasukan Gowa mencari Arung Palakka hingga
ke Buton, Raja Buton ke-10 yang waktu itu bernama La Sombata atau lebih masyhur
dengan Sultan Aidul Rahiem berseumpah bawha mereka tidak menyembunyikan Arung
Palakka di atas pulau mereka. “Apabila kami berbohong, kami rela pulau ini
ditutupi oleh air,” kurang lebih demikian bunyi dari sumpah Sultan Buton.
Ternyata
sumpah yang tercetus tersebut hanyalah silat lidah dari Sultan Buton. Meski
demikian, hal tersebut dianggap sumpah yang sah karena Sultan Buton tidak
menyembunyikan Arung Palakka di atas daratan tanah kekuasaannya, akan tetapi di
antara ceruk-ceruk sekitar pantai yang menurut pendapat orang Buton bukanlah
sebuah daratan. Berkat tindakan yang dilakukan oleh Sultan Buton tersebut,
Arung Palakka lolos dari pencarian pasukan Gowa.
Setelah mendapat bantuan VOC, maka pada 24
November 1666, Arung Palakka berlayar dari Batavia menuju Sombaopu dengan
kekuatan tempur 21 kapal perang, bersama 1000 orang pasukan gabungan yang
terdiri dari 600 tentara Belanda, dan 400 orang laskar Arung Palakka.
Armada tersebut dipimpin oleh Laksamana Cornrlis
Speelman dengan kapal induk bernama Thertolen. Mereka tiba di pelabuhan
Sombaopu pada 19 Desember 1666. Setibanya mereka di sana, Speelman mengutus
seorang diantara mereka untuk menamui Sultan Hasanuddin demi meminta ganti rugi
atas tenggelamnya sebuah kapal Belanda beserta 15 awak kapalnya yang mati oleh orang-orang
Makassar di dekat pulau Doang-doangan beberapa bulan sebelumnya.
Melalui utusannya, Laksamana Speelman meminta
kepada Sultan Hasanuddin untuk menyerahkan semua orang-orang Makassar yang
terlibat dalam insiden tersebut. Namun Sultan Hasanuddin menolak dan hanya
mengirimkan uang emas sebanyak 1056 buah sebagai tebusan orang-orang Belanda
yang tewas dan 1435 ringgit perak untuk kapal De Leeuwinnw yang ditenggelamkan
di sekitar pulau Doang-doangan. Akan tetapi Speelman menolak itu semua.
Semua yang Sultan Hasanuddin serahkan kepada pihak
Laksamana Speelman itu tidak memberikan pengaruh sama sekali. Speelman bersama
Arung Palakka sudah membulatkan tekad untuk memporak-porandakan kerajaan Gowa
bersama rajanya, Sultan Hasanuddin. Maka pada 21 Desember 1666 Laksamana
Speelman maupun Arung Palakka memerintahkan untuk menaikkan bendera perang di
atas kapal sebagai tanda perang besar kepada kerajaan Gowa segera dimulai.
Pihak gabungan VOC dan Arung Palakka kemudian
menembaki benteng Sombaopu dengan tembakan meriam. Pasukan pengawal benteng
Sombaopu juga membalas dengan tembakan meriam yang diarahkan ke kapal perang
Belanda. Setelah itu, barulah kapal Belanda menyusuri pantai selatan sampai ke
Bantaeng yang dijaga oleh 4000 orang pasukan Gowa dibawah pimpinan Karaeng
Tulolo yang merupakan saudara Sultan Hasanuddin.
Pada 25 Desember 1666, armada Speelman tiba di
pelabuhan Bantaeng dan melakukan pendaratan. Di sana terjadi pertempuran yang
dahsyat antara pasukan gabungan Arung Palakka dan Speelman melawan pasukan
Gowa. Dalam perang tersebut, Arung Palakka mendapat luka-luka yang membuat raja
Bone tersebut marah sehingga terpaksa membakar kota dan seluruh kampung di
pesisir pantai serta membakar pula sebanyak 100 buah perahu yang sedang memuat
beras di pelabuhan Bantaeng. Pasukan Karaeng Tulolo kewalahan menghadapi pihak
Arung Palakka-Speelman sehingga tidak dapat bertahan lama dan harus kembali ke
Gowa. Peristiwa tersebut merupakan bagian dari Perang Makassar 1666-1669.
Terlepas dari segala image buruk dari Arung
Palakka, Raja Bone tersebut tetap saja menjadi salah satu tokoh yang
berpengaruh pada zamannya. Bukti kekuasaan pemimpin Bone tersebut terpajang
pada patung yang berdiri kokoh di tengah kota Watampone Kabupaten Bone yang
juga menjadi simbol semangat pejuang-pejuang Bugis masa lampau.
Sumber: Google Gambar |
Sumber:
Wikipedia